HIKMAH ANUGRAH ALLAH SWT
(QS. AL-BAQARAH:269)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu
merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima yang terdiri dari huruf ‘ayn, lam, dan mim. Secara harfiah, ilmu dapat diartikan kepada tahu atau
mengetahui. Secara istilah ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami
hukum yang berlaku atas sesuatu. Namun, pada hakikatnya ilmu adalah salah satu
sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut dengan ‘Alim (Yang Maha Tahu). Dia
adalah sumber pertama ilmu. Segala pengetahuan yang diperoleh manusia merupakan
anugerah-Nya. Ilmu Allah tidak terbatas, manusia hanya memperoleh sedikit saja
daripadanya.
Hikmah
adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat, pengetahuan yang mumpuni, akal yang terus,
pemikiran yang matang dan terciptanya kebenaran dalam perkataan maupun
perbuatan. Inilah seutama-utamanya
pemberian dan sebaik-baiknya karunia. Seluruh perkara tidak akan berjalan
baik kecuali dengan hikmah, yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan
menempatkan segala perkara pada posisinya masing-masing, mendahulukan perkara
yang harus didahulukan, mengulur perkara yang memang harus diulur.
B. Rumusan Masalah
1. Hakikat Ilmu Hikmah
2. Dalil Ahli Ilmu Hikmah Anugrah besar dari Allah
SWT
3. Ilmu Hikmah Sebagai Filsafat
C. Tujuan
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang pendidikan
2. Agar sipembaca dapat mengetahui hakikat dalam
ilmu hikmah
3. Sipembaca dapat mengetahui tentang kedudukan ilmu
pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Ilmu Hikmah
a. Dia memberikan
hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya
Allah memberikan Ilmu yang berguna yang bisa
membangkitkan kemauan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, sehingga ia
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu dengan mudah dapat
membedakan antara ilham yang datang dari Allah dan bisikan setan.
Penangkap ilmu ialah akal, yang menangkap
pengertian berdasarkan dalil-dalil dan memahaminya dengan sebenarnya, dan siapa
yang diberi pengetahuan seperti ini, niscaya mampu membedakan antara janji
Tuhan dan janji setan, mampu memegang teguh janji Allah dan melemparkan janji
setan.
Abdullah bin Abbas menafsirkan kata “hikmah”
dalam ayat ini dengan arti memahami Al-Qur’an. Jadi “hikmah” itu berarti
mengetahui dan memahami ayat infak, faedahnya serta aturan mengeluarkannya
seperti termaktub pada Al-Qur’an, tentu ia akan mengingkari janji setan yang
menjanjikan kefakiran dan menyuruh kikir, sehingga dia tidak terpengaruh untuk
berbuat tidak berderma dan berinfak.
Ayat ini memberikan pengertian “hikmah” lebih
luas dari arti kata itu sendiri sehari-harinya dan memberikan bimbingan untuk
mempergunakan akal sebagai karunia yang paling mulia kepada manusia dengan cara
yang benar.
b. Dan barangsiapa
diberi hikmah, maka ia benar-benar telah diberi kebaikan yang banyak.
Barangsiapa yang diberi oleh Allah ilmu yang
berguna dan diberi petunjuk cara menggunakan akal serta menempuh arah yang
benar, maka orang ini berarti mendapatkan petunjuk dan kebaikan di dunia dan
akhirat. Karena itu ia dapat menggunakan potensi-potensi yang ada dalam
dirinya, seperti penglihatan, pendengaran, hati dan pikirannya secara berdaya
guna dan menyiapkan untuk kesenangannya yang benar, lalu berserah diri kepada
Allah, Tuhan Penciptanya, karena Dialah asal segala sesuatu dan kepada-Nya lah
semuanya akan berakhir. Dia tidak mau menerima bisikan-bisikan setan dan
mengotori dirinya sendiri dengan berbuat dosa. Dia percaya segala sesuatunya
berjalan menurut ketentuan dan takdir Allah. Dengan pikiran serta perasaan
seperti ini hatinya lapang dan perasaannya tenangserta penuh dengan kedamaian
mengarungi malam dan siang.
c. Dan tidak mau
mengikat kecuali orang-orang yang berpikir.
Tidak akan meresapkan, mempercayai nasehat ilmu
dan menundukkan kemajuannya kepad kehendak Allah, kecuali orang yang berpikir
sehat dan senantiasa mengikuti kebenaran, sehingga dapat mengetahui mana yang
baik serta menyelamatkannya di dunia ini sampai ia mati dan hidup diakhirat
dengan pahala yang baik.[1]
Firman Allah, “ Dia menganugerahkan al-hikmah
kepada siapa yang Dia kehendaki,” yakni pengetahuan mengenai Al-Qur’an yang
menyangkut masalah nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, yang
pertama dan yang kemudian turun, halal dan haram, serta masalah lainnya.
Demikianlah menurut Ibnu Abbas.
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
secara marfu’, “Pangkal hikmah ialah rasa takut kepada Allah.” Mujahid
berkata, “Hikmah ialah ketetapan dalam bertutur kata.” Laits bin Salim berkata,
“Hikmah ialah pengetahuan, fikih, dan Al-Qur’an.” Abu al-Aliyah berkata,
“Hikmah ialah rasa takut kepada Allah.” Ada pula yang mengatakan hikmah itu
pemahaman, Sunnah, akal, dan menurut Malik ialah pemahaman terhadap agama, perkara
yang dimasukkan Allah ke dalam kalbu yang berasal dari rahmat dan karunia-Nya.
Menurut as-Sadi, hikmah ialah kenabian.
Menurut pendapat jumhur ulama dan ini sahih,
hikmah itu tidak terus menyangkut kenabian. Ia lebih umum dari itu. Hikmah
tertinggi itu ialah kenabian. Kerasulan merupakan hikmah yang lebih spesifik.
Namun, para pengikut nabi mendapat kebaikan hikmah karena mengikutinya,
sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits berikut.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia
berkata bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda :
{ لآ
حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ أَ تَا هُ اللهُ مَا لاً فَسَلَّطَهُ عَلَى
هَلَكتِهِ فِي الْحَقِّ, وَ رَ جُلٌ أَ تَا هُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي
بِهَا وَ يَعْلَمُهَا } (رواه أحمد)
“
Tiada iri kecualin terhadap dua orang-orang yang diberi kekayaan, lalu dia
menghabiskannya dalam kebenaran dan orang yang diberi hikmah, lalu dia
memutuskan berdasarkan hikmah itu dan mengajarkannya,” ( HR Ahmad )
Demikianlah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’I, dan Ibnu Majah dari
berbagai jalan yang bervariasi dan berasal dari Ismail bin Abi Khalid. Firman
Allah: “Dan tidaklah mengambil manfaat dari nasihat dan peringatan kecuali
orang memiliki akal dan penalaran.[2]
B.
Dalil
Ahli Ilmu Hikmah Anugerah Besar dari Allah SWT
Surat Al-Baqarah [2:269]
يُؤْتَ
ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْاُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُإِاَّلآ أُوْلُوْالْأَلْبَبِ ۚ
وَمَنْ يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَآءُ
Artinya:
“Allah menganugerahkan al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi Hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Tafsir
Ayat :
Tatkala Allah menjelaskan
tentang kondisi orang-orang yang menafkahkan hartanya, dan bahwa Allahlah yang
memberikan kepada mereka dan mengaruniakan untuk mereka harta yang mampu mereka
keluarkan nafkahnya di jalan-jalan kebajikan, dan dengan itu mereka memperoleh
kedudukan yang mulia, Allah menyebutkan apa yang lebih besar dari hal tersebut,
yaitu bahwasanya Allah akan memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya
dari hamba-hambaNya, dan siapa yang Dia kehendaki kebaikan padanya dari
hamba-hambaNya.
Hikmah itu adalah ilmu-ilmu
yang bermanfaat, pengetahuan yang mumpuni, akal yang terus, pemikiran yang
matang dan terciptanya kebenaran dalam perkataan maupun perbuatan. Inilah
seutama-utamanya pemberian dan sebaik-baiknya karunia. Karena itu Allah
berfirman, ( وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ
فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ): “Dan
barang-siapa yang dianugerahi hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak”. Karena dia telah keluar dari gelap kebodohan kepada cahaya
petunjuk, dari kepandiran penyimpangan dalam perkataan dan perbuatan menuju
tepatnya kebenaran padanya, serta terciptanya kebenaran. Dan karena ia telah
menyempurnakan dirinya dengan kebajikan yang agung dan bermanfaat untuk makhluk
dengan manfaat yang paling besar dalam agama dan dunia mereka.
Seluruh perkara tidak akan
berjalan baik kecuali dengan hikmah, yaitu meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya dan menempatkan segala perkara pada posisinya masing-masing,
mendahulukan perkara yang harus didahulukan, mengulur perkara yang memang harus
diulur.
Akan tetapi tidak akan diingat
perkara yang agung ini dan tidak akan diketahui derajat pemberian yang besar
ini, (إِلاَّ أُوْلُوا
اْلأَلْبَابِ)
:“kecuali orang-orang yang berakallah.” Mereka itu adalah orang-orang yang
memiliki akal sehat dan cita-cita yang sempurna. Mereka itulah yang mengetahui
yang berguna lalu mereka melakukannya dan yang mudharat lalu mereka
meninggalkannya. Kedua perkara ini yaitu mengerahkan nafkah-nafkah harta dan
mengerahkan hikmah keilmuan adalah lebih utama bagi orang yang mendekatkan diri
dengannya kepada Allah dan perkara yang paling tinggi yang menyampaikannya
kepada kemuliaan yang paling agung. Kedua perkara itulah yang disebutkan oleh
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي
اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي
اْلحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ اْلحِكْمَةَ فَهُوَ يُعَلِّمُهَا النَّاسَ.
“Tidak ada hasad kecuali dalam
dua perkara; seseorang yang telah diberikan oleh Allah harta lalu ia
menguasainya dengan menghabiskan-nya dalam kebenaran dan seseorang yang
diberikan oleh Allah hikmah lalu dia mengajarkannya kepada manusia”. (HR.
al-Bukhari no.73, dan Muslim no.816 dari hadits Ibnu Mas’ud y.)
Pelajaran
berharga dari ayat:
1. Penetapan perbuatan bagi Allah yang bergantung
pada kehendaknya, ini berdasarkan firman Allah: (يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ):
“Allah menganugerahkan al-Hikmah”, ini adalah bagian dari sifat dalam bentuk
perbuatan.
2. Sesungguhnya apa yang ada pada manusia berupa
ilmu, petunjuk maka itu semua adalah keutamaan dari Allah ta’ala, ini
berdasarkan firmanNya: (يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن
يَشَآءُ):
“Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan
as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki”, maka jika Allah ta’alamemberikan
nikmat kepada seorang hamba berupa ilmu, petunjuk, kekuatan, kemampuan,
pendengaran, penglihatan maka janganlah ia sombong, karena itu semua dari Allah
ta’ala, jika Allah berkehendak maka bisa mencegahnya, atau ia bisa jadi ia
mencabut nikmat itu setelah ia menganugrahnya kepada seseorang. Bisa jadi Allah
mencabut Al-Hikmah dari seseorang, maka jadilah setia tingkah-lakunya gegabah,
keliru dan sia-sia.
3. Penetapan kehendak bagi Allah ta’ala, ini sesuai
dengan firmannya: (مَن يَشَآءُ): “Yang ia kehendaki”
4. Penetapan Al-Hikmah bagi Allah ta’ala, karena
Al-Hikmah merupakan sifat kesempurnaan, maka Dzat yang memberikan kesempurnaan
tentunya ia adalah lebih pantas untuk hal tersebut.
5. Kemuliaan yang agung bagi orang yang diberikan kepadanya
Al-Hikmah, ini berdasarkan firman Allah ta’ala: (وَمَن
يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا): “Dan
barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak”.
6. Wajibnya bersyukur bagi orang yang Allah ta’ala
berikan kepadanya Al-Hikmah, karna kebaikan yang sangat banyak ini mewajibkan
mensyukurinya.
7. Anugrah Al-Hikamah diberikan Allah kepada
seseorang melalui banyak cara, (diantaranya) Allah ta’ala fitrahkan ia dengan
hal tersebut, atau dapat diraih dengan latihan dan berteman dengan orang-orang
yang arif.
8. Keutamaan akal, ini berdasarkan firmanNya: (وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ) : “Dan hanya orang-orang yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
9. Bahwa orang yang tidak dapat mengambil pelajaran,
menunjukan akan adanya kekurangan pada akalnya, yaitu akal sehat, akal yang
memberikan petunjuka pada dirinya.
10. Tidaklah yang dapat mengambil pelajaran dari
pelajaran yang terdapat di alam dan pada syari’at ini kecuali orang-orang yang
mempunyai akal sehat, yang mana mereka menghayati dan mempelajari apa yang
terjadi dari tanda-tanda yang telah lalu dan yang akan datang, sehingga mereka
dapat, mengambil pelajaran darinya. Adapun seorang yang lalai, maka hal
tersebut tidak memberikannya manfaat dan pelajaran (sedikitpun).[3]
C. Ilmu Hikmah sebagai Filsafat
Ilmu merupakan suatu istilah
yang berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima yang terdiri dari huruf ‘ayn, lam,
dan mim. Al-Qur’an sering menggunakan kata ini dalam berbagai sighat
(pola), yaitu masdar, fi’il mudari’, amr, isim maf’ul, dan isim
tafdil. Secara harfiah, ilmu dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui.
Secara istilah ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang
berlaku atas sesuatu.[4] Namun, pada hakikatnya ilmu
adalah salah satu sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut dengan ‘Alim
(Yang Maha Tahu). Dia adalah sumber pertama ilmu. Segala pengetahuan yang
diperoleh manusia merupakan anugerah-Nya. Ilmu Allah tidak terbatas, manusia hanya
memperoleh sedikit saja daripadanya.[5]
Untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar, kajian empiris perlu dianalisis dengan penalaran rasional dan
penalaran ini perlu didasarkan atas pengalaman empiris. Ilmu pengetahuan itu
tumbuh dan berkembang dalam diri manusia melalui pengalaman empiris, rasional,
dan ilham yang masuk melalui indra.
Banyak ayat al-Qur’an yang
mendorong manusia agar mempelajari fenomena alam, seperti unta, angkasa, bumi,
gunung, manusia, dan ufuk. Menurut al-Qur’an, ilmu itu dapat diperoleh melalui
tiga hal, yaitu rasional, empiris, wahyu atau ilham. Oleh karena itu, al-Qur’an
selalu mengajak manusia menggunakan indranya untuk mengkaji alam dan fenomena
yang terjadi.[6]
Dalam Tafsir al-Jalalain (Allah
memberikan Hikmah), artinya ilmu yang berguna yang dapat mendorong manusia
untuk bekerja dan berkarya (kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan barang siapa
yang telah diberi Hikmah itu, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang
banyak) karena Hikmah itu akan menuntunnya kepada kebahagiaan yang abadi. (Dan
tiadalah yang dapat mengambil pelajaran). Asalnya ta diidghamkan pada dzal
hingga menjadi yadzdzakkaruu, (kecuali orang-orang berakal).[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu
berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas
sesuatu. Namun, pada hakikatnya ilmu
adalah salah satu sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut dengan ‘Alim
(Yang Maha Tahu). Dia adalah sumber pertama ilmu. Segala pengetahuan yang
diperoleh manusia merupakan anugerah-Nya. Ilmu Allah tidak terbatas, manusia
hanya memperoleh sedikit saja daripadanya.
Untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar, kajian empiris perlu dianalisis dengan penalaran rasional dan
penalaran ini perlu didasarkan atas pengalaman empiris. Ilmu pengetahuan itu
tumbuh dan berkembang dalam diri manusia melalui pengalaman empiris, rasional,
dan ilham yang masuk melalui indra.
DAFTAR PUSTAKA
M.Yusuf, Kadar. 2013. Tafsir Tarbawi Pesan-pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan. Pekanbaru:AMZAH.
Ar-Rifa’i. Muhammad Nasib. 1999. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsur Ibnu
Katsir Jilid . Jakarta:Gema Insani.
Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa.
1987. Tarjamah Tafsir Al-Maraghi juz 3. Bandung:CV Rosda Bandung.
[1]Syekh Ahmad Musthafa
Al-Maraghi, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi juz 3, ( Bandung:CV Rosda
Bandung, 1987), hlm. 49-50
[2] Muhammad
Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsur Ibnu Katsir Jilid . (
Jakarta:Gema Insani, 1999), hlm. 445-456
[3] https://www.google.co.id/amp/s/ilmuislam2011.wordpress.com/2012/09/19/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-269/amp/
[4] Kadar M. Yusuf,
Tafsir Tarbawi Pesan-pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan,
(Pekanbaru:AMZAH, 2013), hlm. 16-17
0 komentar:
Posting Komentar