MENCARI RIDHA
ALLAH
(Q.S AL-BAYYINAH:
8)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Ridha merupakan menerima semua ketentuan ketentuan Allah
dengan rasa ikhlas tanpa berkeluh kesah, baik berupa hukum dan ketetapan Allah.
Selain itu Ridha dapat diartikan setiap manusia harus menerima semua ketetapan
dengan senang hati. Ridha terhadap Allah ialah hanya menyembah kepada Allah dan
tidak menyekutukaNya. Dan membenci sikap yang menyekutukan Allah. Balasan dari
sikap ridha terhadap Allah ialah ia akan mendapatkan suatu balasan di dunia dan
diakhirat. Di dunia akan mendapatkan suatu kenikmatan dan kelezatan yang ada di
dunia. Sedangkan di akhirat ia akna mendapatkan suatu kenikmatan dan kelezatan
yang ada di surga ‘Adn. Yang dibawah surga tersbut terdapat sungai sungai yang
mengalir. Siapapun yang ada didalamnya ia akan kekal.
B. Rumusan masalah
1. Apa hakikat
dari Ridha ?
2. Apa
pengertian dari mencari Ridha Allah?
3. Bagaimana
dalil dari mencari Ridha Allah?
4. Bagaimana
tafsir surat Al Bayyinah ayat 8?
C. Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecah masalah yang dilakukan
melalui studi literatur/metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan
beberapa referensi buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada
permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan
menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah,
melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran,
perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta
pengorganisasian jawaban permasalahan.
D. Sistematika
Penulisan Masalah
Makalah ini ditulis dalam 3 bagian,
meliputi:
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar
belakang masalah, perumusan masalah,
metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah;
Bab II,
pembahasan;
Bab III, bagian penutup yang terdiri
dari simpulan dan saran-saran.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Al Ghazali Ridha adalah segala keputusan Allah SWT yang merupakan puncak keindahan akhlak (muntaha husnul alkhuluq). Menurut Syeh Abdul Qadir Al-Djaelani ridha merupakan kewajiban hamba kepada Sang Khaliq yang tidak dapat ditolak.
Perkataan rida berasal dari bahasa arab, radiya yang artinya senang hati
(rela). Rida menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala
yang diberikan Allah swt, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Sikap rida harus ditunjukkan,
baik ketika menerima nikmat maupun tatkala ditimpa musibah.
Menurut kamus besar Indonesia, rida
diartikan rela, suka, dan senang hati.sedangkan menurut bahasa adalah ketetapan
hati untuk menerima segala keputusan yang sudah ditetapkan dan ridha merupakan
akhir dari semua keinginan dan harapan yang baik .
Kebanyakan manusia merasa sukar atau gelisah ketika menerima keadaan yang
menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat,
kedudukan, kematian anggota keluarganya, dan lain-lain, kecuali orang yang
mempunyai sifat rida terhadap takdir. Orang yang memiliki sifat rida tidak
mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dilakukannya. Ia tidak menyesal
dengan kehidupan yang diberikan Allah swt dan tidak iri hati atas kelebihan
yang didapat orang lain karena yakin bahwa semua itu berasal dari Allah swt.
Sedangkan kewajibannya adalah berusaha atau berikhtiar dengan kemampuan yang
ada.
Rida terhadap takdir bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa usaha lebih dulu
untuk mencari jalan keluarnya. Menyerah dan berputus asa tidak dibenarkan oleh
tatanan hidup dan tidak dibenarkan pula oleh ajaran Islam. Allah swt.
memberikan cobaan atau ujian dalam rangka menguji keimanan dan ketakwaan
hamba-Nya.[1][1]
Para ulama
telah sepakat bahwa ridha merupakan sunat atau sunat muakad. Ada dua pendapat
yang berbeda tentang wajibnya. Ridha kepada Rubuiyah Allah mengandung ridha
terhadap pengaturanNya terhadap hamba juga mengandung pengakuan terhadap
kesendirianNya dalam tawwakal, keyakinan penyandraan dan permintaan
pertolongan. Sedangkan ridha kepada rasulNya mengandung kesempurnaan kepatuhan
dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan RasulNya lebih penting daripada
keberadaan dirinya. Tidak mencari petunjuk kecuali dari kalimat kalimatnya,
tidak ridha selain kepada hukumnya, dan masalah apapun zhahir maupun batin.
Sedangkan Ridha kepada agamaNya berarti patuh kepada hukum, perintah dan
larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan kehendaknya atau pendapat guru
atau golongannya.
Yang pasti dalam
masalah ini ridha adalah sesuatau yang bisa diupayakan dilihat dari
sebabnya,dan merupakan pemberian jika dilihat dari hakikatnya sebab ridha
merupakan akhir dari tawakkal.
Penafsiran
ridha kepada Allah sebagai Rabb ialah membenci penyembahan kepada selainNya,
dan ini merupakan suatu kesempurnaan dari ridha ini. Siapa yang memberikan
ridha kepada hak hak Allah sebagai Rabb, tentu akan membenci penyembahan selain
selainNya. Sebab ridha terhadap kemurnian Rububiyah mengharuskan adanya
kemurniaan ibadah kepadaNya, sebagai ilmu tentang tauhid Rububiyah mengharuskan
adanya ilmu tentang tauhid Uluhiyah.
Ridha kepada
Allah merupakan dasar ridha terhadap Allah. Ridha terhadap Allah merupakan buah
ridha kepada Allah. Artinya Ridha terhadap Allah berkaitan dengan asma’ dan
sifat sifatnya.
جزاوهم عند ربهم جنت عدن تجرى من تحتها االانهر خلدين فيهاابدا رضى الله عنهم ؤرضوا عنه ذلك لمن خشى ربه
Artinya : Balasan mereka disisi
Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir dibawahnya sungai sungai; mereka
kekal di dalamnya selama lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (Balasan) bagi orang yang takut
kepada TuhanNya.
·
Tafsir Ayat :
جزاوهم عند ربهم جنت عدن تجرى من تحتها االانهر
“Balasan bagi mereka ialah surga surga,
tempat hunian yang mengalir dibawahnya sungai sungai. Kata jannat berarti kebun
kebun yang ditumbuhi pohon pohon yang rindang dan segar. ‘Adn bermakna hunian.
Dan anhar kata jama’ dari nahr yang bererti sungai besar. Yang dimakusd disini
adalah tempat hunian penuh kenikmatan dalam kehidupan akhirat. Hal ini
merupakan salah satu akidah yang wajib kita imani. Kenikmatan didalamnya lebih
besar dan lebih sempurna dari segala macam kenikmatan dunia. Ia juga merupakan
tempat tinhgal yang kekal siapa saja yang masuk ke dalamya tidak akan keluar
untuk selama lamanya itulah makna kalimat selanjutnya.
خلدين فيهاابدا
“Mereka kekal didalam untuk selama lamanya”. Namun kita tidak dibenarkan
menyelidiki tentang hakikat surga surga ini, dimana letaknya dan bagaimana
bentuk kenikmatan didalamnya? Semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain
Allah swt.
Kalimat
رضى الله عنهم
“Dan merekapun ridha kepadanya.
Karena mereka senantiasa memuji dan berterima kasih kepadanya, atas segala
karunianya yang berupa kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Disamping itu,
dengan adanya keyakinan yang kuat kepadanya, maka dengan penuh kepuasaan dan
kesenangan hati mereka mematuhi segala perintahNya di dunia. Sehingga mereka
benar benar merasa ridha kepadanya. dan kelak, ketika berada dalam kenikmatan
alam akhirat, mereka akan mendapati karunia Allah yang sedemikian besar,
sehingga tak ada tempat sedikitpun untuk menyesal atau kecewa”.
ذلك لمن خشى ربه
Artinya “ yang demikian itu
(Balasan) bagi orang yang taqwa kepada TuhanNya. Balasan amal baik ini dan
keridhaan seperti ini hanyalah bagi orang yang jiwanya penuh perasaan khasyyah
(Diliputi cemas dan harap) kepada Tuhannya”.[2][2]
Kemudian dalam ayat ini Allah menerangkan
bahwa yang akan mereka terima Dari Tuhan mereka adalah surga ‘adn yang
didalamnya terdapat bermacam macam kesenangan dak kelezatan, lebih lengkap dan
sempurna dari kesenangan dan kelezatan dunia dan dibawahnya mengalir sungai
sungai. Mereka kekal didalamnya selama lamanya. Mereka berhak menerima balasan
tersebut karena mereka berada dalam keridhaan Allah dan tetap dalam ketentuan
ketentuanNya. Mereka mendapat pujian dan mencapai apa yang merka inginkan dari kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. Meraka di ridhai Allah dan mereka pun ridha
kepadaNya. Ganjaran ganjaran yang merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat hanya
diperoleh orang orang yang jiwanya penuh dengan taqwa kepada Allah. [3][3]
v
Kesimpulan :
1. Orang orang kafir yakni Ahli kitab dan orang orang
musyrik tidak goyah kepercayaan mereka dan berselisih pendapat sesuadh
datangnya nabi Muhammad saw.
2. Mereka hanya di perintahkan untuk menyembah Allah
dengan ikhlas, mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat yang merupakan ajaran
agama yang lurus.
3. Ancaman terhadap orang orang kafir itu ialah akan
diamsukan kedalam neraka jahanam.
4. Balasan terhadap orang yang beriman dan beramal
sholeh ialaha akan dimasukan kedalam surga dan mendapat ridha Allah.
5. Mengerjakan sholat, puasa dan zakat yang
berhubungan dengan gerak lahir dan batin harus dilakukan dengan ikhlas dan
taqqa untuk mencapai balasan yang disediakan bagi orang orang yang beriman dan
beramal sholeh.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Seseorang yang senantiasa
memiliki sifat ridha kepada Allah akan mendapatkan sebuah balasan di dunia dan
di akhirat. Seperti yang terdapat dalam surat Al-Bayinnah, jika seseorang ridha
dan selalu senang hati dalam menerima ketentuan Allah maka ia akan mendapatkan
balasan kenikmatan di dunia dan di akhirat. Dan kelak siapapun yang masuk
didalam surga ‘adn akan kekal selama-lamanya. Dimana surga ‘adn terdapat
sungai-sungai yang mengalir di bawahnya.
B.
Saran
Dengan membaca makalah ini
penulis berharap agar pembaca bisa lebih memahami isi dari makalah ini dan tahu
apa makna dari isi makalah ini. Pembaca agar bisa lebih mengetahui hakikat
mencari ridha allah, dalil tentang mencari ridha Allah dan akhir dari
perjuangan dunia akhirat.
Demikianlah makalah yang
kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam penulisan ataupun pembahasan serta
penjelasan yang kurang jelas, kami mohon maaf. Dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1998.
Tafsir Juz Amma. Bandung: Mizan
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 1998 Madarijus Salikin Pendakian Menuju Allah.
Jakarta: Pustaka al- Kautsar
Kementrian Agama. 2010.
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi
[5][1] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarijus
Salikin Pendakian Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 1998), hlm.
210
0 komentar:
Posting Komentar