KESEMPURNAAN AKAL
(Q.S Al-Qashash:14)
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
merupakan makhluk Allah yang paling sempurna karena di anugerahi oleh akal
pikiran. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang Allah
ciptakan. Akal sendiri berfungsi untuk membedakan antara yang baik dan yang
buruk, selain itu akal juga dapat menuntun kita ke jalan Allah. Dalam al qur’an
pun telah banyak disebutkan mengenai penggunaan akal seperti afalaa ta’qiluun,
afalaa ya’lamuun, afalaa tafakkarun, dan lain sebagainya. Kisah Nabi Musa di
dalam surat Al-Qashash ayat 14 menjadi bukti kesempurnaan akal pada manusia,
dimana ada beberapa penafsiran tentang ayat tersebut serta sampai tahap-tahapan
kesempurnaan akal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ilmu dan akal pada manusia menurut
pandangan al-Qur’an dan hadits?
2. Bagaimana dalil serta tafsir dari Q.S. Al-Qashash ayat
14?
3. Bagaimana penerapan Q.S.Al-Qashash ayat 14 dalam
kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep ilmu dan akal pada manusia menurut
pandangan al-Qur’an dan hadits.
2. Untuk mengetahui dalil serta tafsir dari Q.S. Al-Qashash
ayat 14.
3. Untuk mengetahui penerapan
Q.S.Al-Qashash ayat 14 dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Ilmu dan Akal Manusia
1)
Konsep ilmu
Dalam al-Quran
disebut banyak sekali ayat yang membahas tentang ilmu. Hal tersebut menunjukkan
betapa pentingnya ilmu itu kepada manusia, khasnya untuk membina akal dan
individu kearah yang baik, sempurna dan mendapat keredhaan Allah di dunia dan
akhirat. Islam amat menuntut umatnya mencari dan mempelajari ilmu, baik ilmu
yang merupakan ilmu fardhu ain, maupun ilmu berbentuk fardu kifayah. Di mana
ilmu merupakan asas yang penting kepada seseorang dalam menjalani kehidupan
atau untuk melaksanakan apa yang diperintah. Tidak mungkin seseorang yang tidak
berilmu dapat melaksanakan apa yang diperintahkan dengan sempurna. Dengan kata lain, orang
yang berilmu sajalah dapat mendekatkan diri kepada Allah dan bertaqwa dengan
hakikat sebenarnya. Dalam konteks
lain juga, Islam menyanjung tinggi orang yang alim dan berilmu. Orang yang
berilmu diangkat ke darjat yang tinggi dan mulia.
2) Konsep Akal
Akal merupakan asas penting kepada manusia dan dengannya dapat membedakan derajat manusia
dengan makhluk lain. Akal merupakan asas asal dan konsep utama menyebabkan manusia itu
dipertanggungjawabkan dengan taklif serta syarat seseorang itu sempurna. Oleh
itu anugerah akal merupakan suatu
nikmat dan rahmat yang besar. Lantaran akal adalah amanah seperti nikmat lain. Peran akal
menurut al-Quran dan al-Sunnah ialah sebagaimana berikut:
a. Akal berperan
untuk mengkaji dan mendalami serta mempelajari ilmu. Akal yang dikurniakan
kepada manusia itu hendaklah digunakan semaksimal mungkin untuk mengambil
kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan Untuk itu, al-Quran membuka ruang
yang selebar mungkin kepada
manusia supaya menggunakan akal mereka untuk mencari ilmu, baik Ilmu yang berkaitan dengan keduniaan dan ilmu yang berkaitan dengan akhirat atau keagamaan.
manusia supaya menggunakan akal mereka untuk mencari ilmu, baik Ilmu yang berkaitan dengan keduniaan dan ilmu yang berkaitan dengan akhirat atau keagamaan.
b. Akal berperan untuk mempelajari dan
memahami wahyu Allah. Dengan anugerah akal yang Allah berikan, menyebaban
seseorang itu berilmu sehingga dirinya mendapat kedudukan yang mulia.[1]
c. Akal merupakan salah satu syarat manusia di taklifkan dan akal yang tidak
diarahkan kejalan yang benar menurut syara’ atau akal yang lalai akan
menunaikan perintah Allah menyebabkan seseorang itu berdosa dan masuk neraka.
d. Akal merupakan sumber utama untuk mengenal Allah, melalui sifat-sifat dan
bukti kekuasaan-Nya.
e. Akal membawa peran positif untuk manusia. Karena dengan akal manusia bisa
menilai mana tu kebaikan dan mana itu keburukan. Apabila manusia itu belum
mengetahuimya, hendaklah ia mengarahkan akalnya untuk berusaha dan bertanya
pada orang-orang yang berpengetahuan.
B.
Dalil dan Tafsir Hikmah dan Ilmu : Kesempurnaan
Akal
وَلَمَّا بَلَغَ
أَشُدَّهٗ وَاسْتَوٰى اٰتَيْنٰهُ حُكْمًا وَّعِلْمًاۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى
الْمُحْسِنِيْن ١٤
Artinya : “ Dan
setelah dia (Musa) cukup umur dan
sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan.
Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. “
1) Tafsir
Jalalayn
(Dan
stelah Musa cukup umur) telah mencapai umur tiga puluh tahun atau tiga puluh
tiga tahun (dan sempurna akalnya) yaitu telah mencapai umur empat puluh tahun
(Kami berikan kepadanya hikmah) yakni kebijaksanaan (dan ilmu) yatu pengetahuan
tentang agama sebelum ia diutus menjadi Nabi. (Dan demikianlah) Kami memberikan
balasan kepada Musa (Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik)
untuk diri mereka sndiri.
2) Tafsir Al-Azhar
“Dan setelah Musa
cukup umurnya dan dewasa, Kami berikan kepadanya Hukum dan Ilmu.” Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang lebih
30 tahun dia menjadi “Anak angkat” Fir’aun. Dari kecil dibesarkan dalam istana
Fir’aun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang
dari istana, bahkan dia diasuh, dibimbing dirumah ibunya sendiri dan
disaat-saat yang perlu dibawa ke istana. Dengan demikian maka keluarga Imran
yaitu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari hubungan anaknya
dengan istana. Abangnya Harun un telah mendapat pekerjaan yang layak diistana
dan leluasa masuk istana. Keluarga Musa, sebagai keluarga Bani Israil golongan
yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa jadi “anak angkat” telah
mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh keluarga Bani Israil yang lain.
Keadaan ini pernah diuraikan oleh Musa dihadapan Fir’aun sendiri kemudiannya,
sebagai yang tersebut pada ayat 22 dari Surat 26 asy Syu’ara.
Lantaran itu, meskipun
dia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia
mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia selalu melihat
perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Fir’aun “wa
malai-hi” dan segala kaki tangannya terhadap kaumnya. Sebab itu maka
pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat, yang didengar menambah
pengetahuannya tentangg mana yang adil dan mana yang zalim. Kalau terasa dalam
hatinya, bahwa kalau dia yang memegang hukum, tentu begitu mestinya. Dia pun
melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan kepada rakyat. Kalau
yang bersalah itu kaum Quthbi, kaum Fir’aun sendiri, kesalahannya itu akan
ditutup-tutup. Tetapi kalau Bani Israil yang bersalah, maka hukumnya sangat
kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya.
Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah matang pribadi Musa, menambah
dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam istana niscaya
dia diajar sebagai anak-anak orang bangsawan dan dalam masyarakat diajar oleh
pengalaman-pengalaman dan melihat kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap
rakyat yang lemah “Dan demikianlah Kami mengganjari orang-orang yang
berbuat baik.”
Pada ujung ayat ini
dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa disamping apa yang telah
ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan Nabi dan
Rasul, dengan kehendak Tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang
telah berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti hukum dan
berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuat baik ini adalah orang-orang yang
mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya,kedua istri Fir’aun yang
budiman itu. Dipujikan disini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.[2]
3)
Tafsir Al Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah
menceritakan bahwa Dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepada Musa diwaktu kecil,
seperti menyelamatkannya dari kebiasaan setelah diletakkan didalam peti dan
dilemparkan kesungai, serta menyelamatkan dari penyembelihan yang melanda
anak-anak Bani Israil. Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia melimpahkan
nikmat kepadanya ketika dewasa, seperti memberinya ilmu dan hikmah, kemudian
mengutusnya sebagai rasul dan Nabi kepada Bani Israil dan bangsa Mesir. Selanjutnya Allah menceritakan bahwa Musa
membunuh seorang bangsa Mesir yang berkelahi dengan orang Yahudi dengan tinju
yang mengakibatkan kematiannya. Lalu Musa memohon ampun kepada Allah atas
perbuatannya tersebut, dan bertekad tidak menolong seorang yang sesat dan
berdosa. Tetapi manakala melihat perkelahian lain antara orang Yahudi tersebut
dengan orang Qibti yang lain, Musa terdorong untuk menolong kembali orang
Yahudi tersebut, sehingga orang Mesir itu berkata, “Apakah kamu hendak
mengadakan perdamaian dimuka bumi, ataukah hendak menjadi orang yang berbuat
sesuatu tanpa memikirkan akibatnya dan menjadi orang yang mengadakan
kerusakan?”
Penjelasan :
Setelah
tubuhnya kuat dan akalnya sempurna, maka kami memberinya pemahaman agama dan
pengetahuan tentang syari’at. Sebagaimana Kami telah memberi balasan kepada
Musa atas ketaatannya kepada Kami dan Kami memberinya kebaikan atas
kesabarannya terhadap perintah kami, maka demikian pula kami membalas setiap
hamba yang berbuat kebajikan, mentaati perintah dan laarangan kami.[3]
4) Tafsir Al-Misbah
Kata
( اشده ) terambil dari kata ( الاشد) yang
oleh sementara pakar dinilai sebagai bentuk jamak dari kata ( شد) kata tersebut dipahami dalam arti kesempurnaan kekuatan. Ulama
dalam hal ini berbeda pendapat dalam usia kesempurnaan manusia. ada yang
menyatakan 20 tahun , tetapi kebanyakan menilai dimulai dari usia 33 tahun.
Thabatthaba’i menafsirkan ayat ini bahwa pada gholibnya kesempurnaan itu
terjadi sekitar usia 18 tahun.
Kata
( استوى ) kata ini ada yang memahaminya berfungsi menguatkan kata
“Asyuddahu”, tetapi pendapat yang lebih tepat adalah usia puncak kesempurnaan
kekuatan. Thabathaba’i memahaminya dalam arti ketenangan hidup, dan ini berbeda
antara seseoranag dengan seseorang lain , walaupun menurutnya pada umumnya
terjadi setelah seseorang mencapai umur asyudd.
Tabathtabai
memahami kata (حكما) dalam arti”
ketepatan pandangan menyangkut substansi satu persoalan dan kebenaran
penerapannya yang pada akhirnya berarti keputusan yang benar menyangkut baik
buruknya satu pekerjaan serta penerapan keputusan itu.
Kata
(المحسنين) adalah jamak dari kata محسن .
Kata ihsan menurut al-Harrali sebagaimana dikutip dari al-Biqa’i adalah puncak
kebaikan amalperbuatan.
Ar-Raghib
al-Asfahani berpendapat bahwa kata ihsan digunakan untuk dua hal. Pertama,
memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik. Karena itu, kata
tersebut lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah”. maknanya bahkan
lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna kata Adil.[4]
C. Penerapan
Q.S.Al-Qashash ayat 14 dalam kehidupan sehari-hari
1. Senantiasa beriman kepada
Allah dan mempercayai segala sifat-sifat dan kebesaran-Nya.
2. Selalu percaya bahwa
Allah pasti akan menepati janji-janjiNya dan mewujudkan apa yang tidak mungkin
untuk manusia.
3. Selalu berusaha untuk
menjadi seseorang yang baik sesuai syariat dan percaya bahwa itu tidak sia-sia.
4. Selalu beikhtiar,
bertawakkal, dan berdoa atas apa yang terjadi dihidup kita.
5. Senantiasa memanfaatkan
akal yang telah dianugerahkan Allah untuk kita yaitu berpikir dan mampu
membedakan yang baik dan buruk.
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian penafsiran diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa QS, Al-Qashash berisi mengenai kisah Nabi Musa As dari beliau
lahir sampai dengan diangkatnya menjadi rasul. Qs.Alqashash ayat 14 ini
menerangkan bahwa Allah menganugerahkan kepada manusia akal yang sempurna
ketika seseorang tersebut telah menginjak usia sekitar asyuddu sekitar 20 – 40
tahun, dalam usia tersebut manusia telah mampu berfikir mana yang baik dan mana
yang buruk.
Selain itu Allah juga akan memberikan
balasan kepada orang-orang yang telah berbuat baik sesuai dengan syari’at agama
islam. dan perintah untuk percaya kepada janji-janji Allah serta selalu
bertawakkal kepada-Nya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi,
ahmad mustafa.1993.Tafsir Al-Maragi.Semarang: PT.Karya Toha Putra
Semarang
Shihab,
M.Quraish.TAFSIR ALMISHBAH:Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.Jakarta:
Lentera Hati
Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar Juz XX.
Jakarta: Pustaka Panjimas.
0 komentar:
Posting Komentar