AMAR
MA’RUF NAHI MUNKAR
(Q.S AL-HAJJ: 41)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Agama Islam adalah
agama yang sangat memperhatikan penegakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar merupakan pilar dasar dari pilar-pilar akhlak yang mulia lagi
agung. Kewajiban menegakkan kedua hal itu adalah merupakan hal yang sangat
penting dan tidak bisa ditawar bagi siapa saja yang mempunyai kekuatan dan
kemampuan melakukannya. Sesungguhnya diantara peran-peran terpenting dan
sebaik-baiknya amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, adalah saling
menasehati, mengarahkan kepada kebaikan, nasehat-menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran. At-Tahdzir (memberikan peringatan) terhadap yang bertentangan dengan
hal tersebut, dan segala yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah Azza wa Jalla,
serta yang menjauhkan dari rahmat-Nya.Perkara al-amru bil ma’ruf wan nahyu
‘anil munkar (menyuruh berbuat yang ma’ruf dan melarang kemungkaran) menempati
kedudukan yang agung.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hakikat amar ma’ruf nahi mungkar?
2. Apa
dalil yang mendasari amar ma’ruf nahi mungkar?
3. Apa
yang dimaksud dengan maslahat dan mafsadat?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui hakikat amar ma’ruf nahi mungkar.
2. Untuk
mengetahui dalil dan tafsir tentang amar ma’ruf nahi mungkar.
3. Untuk
mengetahui maksud dari maslahat mafsadat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Ma’ruf
diambil dari kata ma’rifah yang menurut bahasa Arab maknanya ialah : segala
sesuatu yang diketahui oleh hati, dan jiwa tentram kepadanya. Dan secara syar’i
ma’ruf artinya adalah segala sesuatu yang dicintai oleh Allah Swt. seperti taat
kepada-Nya dan berbuat kepada hamba-hambaNya.
Sedangkan
mungkar menurut bahasa maknanya adalah : suatu yang diingkari oleh jiwa, tidak
disukai dan tidak dikenalnya. Mungkar adalah lawan kata dari ma’ruf, dan secara
syar’i makanya adalah : segala sesuatu yang dikenal keburukannya secara syar’i
dan akal, seperti maksiat kenapa Allah Swt, dan zalim terhadap hamba-hambaNya.
Berdasarkan
pada definisi tersebut terdapat dua kejelasan. Yang pertama, standart untuk
mengetahui ma’ruf dan mungkar itu bukanlah adat dan kebiasaan manusia serta
apa-apa yang telah tersebar ditengah-tengah mereka. Karena adat manusia itu
tidak tetap, boleh jadi sekarang mereka mengaggap baik sesuatu, dan bukan
mustahil esoknya mereka mengingkari dan menentangnya, begitu juga sebaliknya,
terkadang sekarang mereka menentang sesuatu, kemudian esoknya itu dianggap baik
dan mereka melakukannya.
Standar
yang kedua pada dasarnya masyarakat muslim mengenal ma’ruf kemudian
menetapkannya dan memerintahkannya, dan mereka mengingkari suatu kemungkaran,
menolak dan mecegahnya. Ijma’ sahabat termasuk dalil syar’i yang tidak
ditentang oleh seorangpun dari kaum muslimin. Oleh karena itu Imam Malik
berpegan dengan amalan penduduk Madinah, beliau menjelaskan amalan penduduk
madinah itu berdasarkan pada nubuwah,sedangkan amalan penduduk kota lain
berdasarkan perintah raja.[1][1]
B. Dalil Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
الَّذِينَ
إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ
وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ(الـحج
:41)
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
a. Tafsir Al-Maraghi
Orang-orang
yang diusir dari kampung halamannya ialah orang-orang yang apabila kami
meneguhkan kedudukan mereka di dalam negeri, lalu mengalahkan kaum musyrikin,
lalu mereka taat kepada Allah, mendirikan sholat, seperti yang diperintahkan
kepada mereka, mengeluarkan zakat, menyuruh orang untuk mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh syari’at dan melarang melakukan kemusyrikan, serta
kejahatan. Kemudian Allah menjanjikan akan meninggikan apakah dia akan
membalasnya dengan pahala ataukah dengan siksa di akhirat.
Mereka adalah
orang-orang yang menyempurnakan dirinya dengan menghadirkan Tuhan dan
menghadapkan diri kepadan-Nya di dalam sholatnya menurut kemampuan, dan mereka
menjadi penolong umat-umat mereka dengan menolong orang-orang fakir dan yang
butuh pertolongan diantara mereka. Disamping itu, mereka menyempurnakan orang
lain dengan memberikan sebagian ilmu dan adabnya, serta mencegah berbagai
kerusakan yang menghambat orang lain mencapai ahlak dan adab yang luhur.[2][2]
b. Tafsir Al-Azhar
“(Yaitu)
orang-orang yang apabila kami kokohkan mereka di bumi” (pangkal ayat 41).
Artinya telah kami tolong dan berhasil perjuangan mereka melawan kezaliman itu,
“Mereka mendirikan sembahyang dan memberikan zakat”. Dengan susunan ayat
seperti ini bukanlah berarti bahwa mereka baru mendirikan sembahyang dan kokoh
di muka bumi, atau setelah mereka menang menghadapi musuh-musuhnya, bahkan
sejak semula perjuangan keyakinan dan keimanan kepada Tuhan itulah pegangan
teguh mereka. Dalam pengalaman kita dimasa penjajahan Belanda, pada umumnya
orang shalih dan taat sembahyang lima waktu mereka kerjakan dengan tekun dan
zakat mereka berikan. Namun, setelah kedudukan kokoh di muka bumi orang mulai
melalikan agama.
Ayat
ini menceritakan umat Nabi Muhammad saw. dan memujikan ummat Muhammad dibawah
kepemimpinan Nabinya. Setelah mereka mulai mendapat kedudukan yang kokoh di
Madinah. Ayat inipun diturunkan di Madinah, bahwa kemenangan perjuangan bagi
mereka adalah semata-mata jembatan emas dalam menuju masyarakat yang selalu
ridha kepada Allah dan diridhai oleh Allah. Dalam perang ataupuan damai, mereka
selalu sembahyang yang langsung berhubungan dengan Allah, sehingga diajarkan
bagaimana caranya mendirikan sembahyang dalam keadaan sedang ada perang yang
berkecamuk.
Dan
tidak lupa mengeluarkan zakat, yaitu sebagian harta benda untuk membantu
orang-orang faqir miskin, orang berhutang, sabilillah dan lain-lain, sehingga
kebakhilan sebagai suatu penyakit berbahaya yang bisa merusakkan pertumbuhan
iman dapat dicegah. Dengan demikian terdapatlah keseimbangan diantara dua tali
hubungan. Pertama tali hubungan dengan Allah yaitu dengan sholat, yang kedua
tali hubungan dengan sesama manusia, dengan mengeluarkan zakat.
“Dan
mereka menyuruh yang ma’ruf”, maka timbullah berbagai anjuran agar sama-sama
berbuat yang ma’ruf. Arinya yang ma’ruf ialah anjuran-anjuran atau perbuatan
yang diterima baik dan disambut dengan segala senang hati oleh masyarakat
ramai. Bertambah banyak anjuran kepada yang ma’ruf bertambah majulah
masyarakat.
“Dan
mereka mencegah dari perbuatan yang mungkar”, Artinya yang mungkar ialah segala
anjuran atau perbuatan yang masyarakat bersama tidak senang melihat atau
menerimanya, karena tidak sesuai dengan garis-garis kebenaran. Meka dengan terbiasanya
masyarakat dapat ajuran yang ma’ruf, perasaannya akan lebih halus dalam menolak
yang mungkar. Lantaran itu maka amar ma’ruf nahi mungkar hendaklah seimbang,
atau dengan sendirinya timbul keseimbangan diantara keduanya. Karena keduanya
jadi hidupsubur sebab dipupuk oleh iman kepada Allah.
Karena
dasar yang mengkokohkan kedudukan ummat itu iman kepada Allah. Jika iman tidak
ada lagi maka hilanglah amar ma’ruf nahi mungkar. Dan pada ujung ayat 41 yang
artinya “Dan kepada Allah jualah akibat dari segala urusan”,artinya
bagaimanapun keadaan yang dihadapi, baik ketika lemah yang menghendaki
kesabaran, atau menghadapi perjuangan yang amat sengit dengan musuh karena
mempertahankan ajaran Allah atau seketika kemenangan telah tercapai,
sesekali-kali jangan lupa, bahwa semua keputusan terakhir kembali kepada Allah.[3][3]
c. Tafsir al-Misbah
Ayat-ayat QS-Al
Hajj ayat 41 menerangkan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang jika kami
anugerahkan kepada kemenangan dan kami teguhkan kedudukan mereka dimuka
bumi, yakni kami berikan mereka keleluasaan mengelola suatu wilayah
dalam keadaan mereka merdeka dan berdaulat niscaya mereka yakni masyarakat itu
melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya dan
mereka juga menunaikan zakat sesuai kadar waktu, sasaran dan cara penyuluran
yang ditetapkan oleh Allah. Serta mereka menyuruh anggota-anggota masyarakat
agar berbuat yang ma’ruf, yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang
diakui baik dalam masyarakat itu, lagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai
ilahiah dan mereka mencegah dari yang munkar, yakni yang nilai buruk lagi
diingkari oleh akal sehat masyarakat, dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.Allah- lah yang memenagkan siapa yang hendak dimenangka-Nya dan Dia pula
yang menjatuhkan kekalahan bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang
menentukan masa kemenangan dan kekalahan itu.
Ayat diatas
mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan islam, kapan
dan dimanapun dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi
Muhammad SAW. Dan para sahabat beliau.
Masyarakat itu
adalah yang pemimpin dan anggotanya dinilai kolektif bertakwa, sehingga
hubungan mereka dengan Allah SWT. Baik dan jauh dari kekejian dan kemunkaran,
sebagaimana dicerminkan oleh sikap mereka yang selalu melaksanakan shalat dan
harmonis pula hubungan anggota masyarakat, termasuk antara kaum yang punya dan
lemah yang dicerminkan oleh ayat diatas iringan menunaikan zakat. Disamping itu
mereka juga menegakkan nilai-nilai yang dianut masyarakat, yaitu nilai-nilai
ma’ruf dan mencegah perbuatan yang munkar. Pelaksanaan kedua hal tersebut
menjadikan masyarakat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling
mengingatkan dalam hal kebajikan, serta mencegah terjadinya pelanggaran.[4][4]
Masalah Maslahat
dan Mafsadat
Tujuan
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah menghasilkan berbagai
kemaslahatan dan menghilangkan berbagai
mafsadat, bahkan para Rasul yang mulia diutus untuk mewujudkan berbagai
kemaslahatan dan menyempurnakannya dan mengurangi mafsadat serta
melenyapkannya.
Oleh
karena itu bila seorang Muslim mengetahui bahwa amar ma’ruf dan nahi
munkar yang dilakukannya itu dalam suatu
kondisi akan mengakibatkan mafsadat, maka dalam kondisi yang demikian itu amar
ma’aruf dan nahi munkar terlarang.
Diantara
yang telah diriwayatkan dalam masalah ini bahwa syaikhul islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, bersama sebagian murid-muridnya pulang dari Dimasyq (Damaskus).
Dalam perjalanannya mereka melewati orang – orang Tatar yang sedang minum
khamr. Melihat yang demikian sebagai murid – muridnya ingin melakukan nahi
mungkar kepada mereka, namun Ibnu Taimiyah mengatakan: “Biarkan mereka”.
Kemudian murid-muridnya mengatakan: “Kita tiggalkan mereka diatas
kemungkaran tersebut ?”. “Ya”, jawab Ibnu Taimiyah. Kemudian dia
melanjutkan perkataannya: “Sesungguhnya mereka itu seandainya sadar dari
mabuknya pasti akan memasuki Damascus, kemudian akan melakukan pemerkosaan,
perampokan, dan pembunuhan”.
Hampir
tidak ada di dunia ini kemaslahatan saja, atau mafsadat saja. Masalahnya
berimbang, apabila kemaslahatan yang lebih menonjol dilestarikan, apabila
mafsadat yang lebih menonjol ditolak.
Mulailah
dari kemungkinan yang besar sebelum yang kecil, dan biarkanlah kemungkaran,
yang bila dicegah akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Inilah yang
sesuai dengan maksud syara’ dan akal, karena maksud dari keduanya adalah
menghasilkan kebaikan yang paling baik dan menolak kejahtan yang paling jahat.
Nahi mungkar secara rahasia dan terang – terangan:
Di
antara yang berkaitan dengan masakah yang maslahat dan mafsadat adalah masalah
rahasia dan terang – terangan dalam nahi mungkar. Memilih salah satu dari dua
cara tersebut berkaitan erat dengan masalah maslahat dan mafsadat. Terkadang
maslahat di dalam nahi mungkar secara terang – terangan, dan terkadang terdapat
didalam nahi mungkar secara rahasia. Apabila pelaku kemungkaran melakukan kemungkarannya secara terang-
terangan. Dan apabila kemungkaran dilakukan secara pribadi, atau dikhawatirkan
pula menimbulkan kemungkaran yang lebih besar bila dilakukan secara terang –
terangan, maka kemaslahatan terdapat didalam cara yang rahasia.
Mengenai
kisah salafus shaleh –ridwanallah alaihim- yang melakukan nahi mungkar secara
terang–terangan banyak sekali, karena mereka adanya kemaslahatan dalam cara
tersebut.
Diantaranya
adalah apa yang terdapat di dalam shahihain, di mana Abu Sa’id Al Khudri pada
hari raya keluar bersama Marwan bin Al Hakam menuju tempat shalat Abi Sa’id
berkata: Ketika kami telah tiba ditempat shalat dimana disana ada sebuah mimbar
yang di buat oleh Katsir bin Solt, tiba – tiba Marwan ingin naik mimbar sebuah
shalat dilakukan. Kemudian ketarik bajunya, dan diapun menarikku, akhirnya dia
naik dan berkhutbah sebelum shalat. Lalu saya katakan kepadanya:
“Demi Allah, anda
telah berubah”. Dia mengatakan: “Wabai Aba Sa’id, sungguh telah
lenyap apa yang anda ketahui”. Lalu saya katakana: “Demi Allah apa yang
saya ketahui lebih baik dari apa yang saya tidak ketahui”. (Bukhari 913 :
Msulim 889).
Kedua
kalinya Marwan keluar menuju tempat shalat ‘led, kemudian berkhutbah sebelum
shalat. Kemudian salah seorang berdiri dan mengatakan:
“Shalat dilakukan sebelum khutbah”. Lalu Marwan
mengatakan: “Telah ditinggalkan yang demikian”. (diriwayatkan oleh
Muslim 49).
Demikianlah
dia melakukan nahi mungkar kepada Marwan secara terang – terangan, karena
Marwan melakukan kemungkaran secara terang – terangan, dan seorang yang
melakukan nahi mungkar tersebut termasuk orang orang yang terpandang, dan
Marwan sendiri pernah dilarang oleh Abu Sa’id namun tetep terus mengerjakannya.
–Wallahu a’lam-.
Berapa
banyak nahi mungkar yang telah dilakukan oleh Amirul ma’minim Umar bin Khatab.
Barang kali diantara kasih yang paling benar dalam hal ini adalah apa yang
diriwayatkan oleh Syaikhan bahwasannya disaat terjadi pertentangan antara Umar
bin Khatab dengan seorang sahabat, Ubai bin Ka’ab berkata kepada Umar: “Wahai
Ibnul Khatab, janganlah anda menjadi azab bagi para sahabat Muhammad saw”.
Ketika
Utsman bin Affan Radliyallahu anhu melarang haji tamattu’ (yaitu menggabungkan
antara umarah dan haji), Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku datang memenuhi
panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk melakukan haji
tamttu”. Kemudian dikatakan kepadanya mengenai hal tersebut dia berkata: “Saya
ingin menjelaskan kepada manusia apa yang Utsaman perintahkan kepada kita
bertentangan dengan sunnah Nabi saw”. (diriwayatkan oleh Bukhari 1563)
Muawiyah
Radliyallahu anhu pernah menyentuh semua sudut ka’bah, tidak cukup dengan sudut
Yamani dan hajar aswad saja (didalam melakukan thawaf), kemudian Ibnu Abbas
melakukan nahi mungkar kepadanya – Sekalipun Mu’awiyah sebagai amir -, kemudian
Mu.awiyah berkata: “Tidak ada suatupun dari kita ka’bah yang ditingalkan”.
Kemudian Ibnu Abbas mengatakan:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri tauladan yang baik bagimu” (Al Ahzab: 21), dan Rasulullah saw.
tidak menyentuh selain dua sudut: sudut yamani dan hajar aswad”.
(diriwayatkan oleh Bukhari 1608, Muslim 1269; Tirmidzi 858; Ahmad I 332,372).
Demikianlah
orang-orang salaf melakukan nahi mungkar secara terang-terangan dan tidak
secara tersembunyi, disaat mereka terang-terangan dan kemaslahatan ada dalam
hal tersebut.
Diantara kesalahan-kesalahan manusia dalam masalah
maslahah mafsadat
Sesungguhnya kejahilan mayoritas
manusia terhadap prinsip membandingkan dua tarjih antara maslahat dan mafsadat
telah menjrumuskan mereka didalam kesalahan-kesalahan yang besar.
Barangkali karena lemahnya pandangan,
akhirnya mencela orang lain yang melakukan perbuatan yang lebih minim. Atau
karena mereka lebih mengutamakan apa yang dia sangka sebagai keselamatan dan
wara’, hal ini karena lemahnya pengetahuan mereka. Dan jika tidak demikian,
maka wara’ itu tidak hanya meninggalkan sesuatu yang menyerupai haram atau yang
makruh, akan tetapi termasuk juga adalah melakukan perbuatan yang menyerupai
yang mustahab atau yang wajib.
Diantara kesalahan-kesalahan yang
muncul di jaman kita sekarang ini adalah:
1.
Mendakwahkan untuk keselamatan diri sendiri, dan takut terhadap fitnah, dengan
menjauhi tempat-tempat kemungkaran sekalipun mereka mampuuntuk mendatanginya
dan melakukan nahi mungkar kepada pelakunya. Yang demikian ini karena mereka
khawatir debu-debu kemungkaran tersebut sampai kepada dirinya, atau khawatir
krgrlapan kemungkaran-kemungkaran tersebut menyelimuti hatinya.
2.
Diantara kesalahan-kesalahan juga adalah apa yang terdapat pada para penuntut
ilmu dan para da’i dijaman sekarang ini yautu tidsk mau melakukan
perbuatan-perbuatan yang didalamnya mengandung kemaslahatan umum,dan menghindar
tidak mau mengajar memberikan bimbingan atau memimpin karena tidak berambisi
terhadap popularitas dan kedudukan.[5][5]
BAB III
PENUTUP
A. Keseimpulan
Ma’ruf diambil
dari kata ma’rifah secara syar’i ma’ruf artinya adalah segala sesuatu yang
dicintai oleh Allah Swt. Mungkar adalah lawan kata dari ma’ruf, dan secara
syar’i makanya adalah : segala sesuatu yang dikenal keburukannya secara syar’i
dan akal, seperti maksiat kenapa Allah Swt, dan zalim terhadap hamba-hambaNya.
Ayat ini
menceritakan umat Nabi Muhammad saw. dan memujikan umat Muhammad dibawah
kepemimpinan Nabinya. Setelah mereka mulai mendapat kedudukan yang kokoh di
Madinah.
Diantara kesalahan-kesalahan manusia dalam masalah
maslahah mafsadat
1. Mendakwahkan untuk keselamatan diri
sendiri, dan takut terhadap fitnah, dengan menjauhi tempat-tempat kemungkaran
sekalipun mereka mampu untuk mendatanginya dan melakukan nahi mungkar kepada
pelakunya.
2. Diantara
kesalahan-kesalahan juga adalah apa yang terdapat pada para penuntut ilmu dan
para da’i dijaman sekarang ini yautu tidsk mau melakukan perbuatan-perbuatan
yang didalamnya mengandung kemaslahatan umum,dan menghindar.
B. Saran-saran
Dengan membaca makalah ini penulis
berharap agar pembaca bisa lebih memahami isi dari makalah ini dan tahu apa
makna dari isi makalah ini. Pembaca agar bisa mengerti tentang hakikat amar ma"ruf nahi
mungkar,dalil yang mendasarinya dan juga maslahat mafsadat.
Demikianlah makalah yang kami buat,
apabila ada kesalahan baik dalam penulisan ataupun pembahasan serta penjelasan
yang kurang jelas, kami mohon maaf. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Kami ucapkan terima kasih.
[2][2]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 209-210
0 komentar:
Posting Komentar